Takhrij
Al-Hadis
Secara Teoritis Dan Aplikatif
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum islam yang menjadi pegangan hidup umat
Islam. Allah
sendiri yang akan menjadi penjaga Al-Qur'an dari perubahan, penambahan ataupun
pengurangan, begitu pula dengan As-sunnah (Al-hadist) sebagai penjaga makna
atau penjelas al-Qur'an. Maka tidak
ada seorangpun di ujung dunia yang membuat hadist dusta kecuali akan terkuak
kepalsuanya.
Bagaimana
Hadits bisa terjaga?
Hadits
terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahlihadits
bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dhaif (lemah) dan
hadits maudhu’(palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan
hadist. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat
tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya
kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut
berstatus shahih yang
wajib kita jadikan pegangan hidup. Dengan demikian tersingkaplah hadits-hadits palsu buatan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak agama Islam.
PEMBAHASAN
LANDASAN TEORI
1.
PENGERTIAN TAKHRIJ
Takhrij secara teoritis menurut
bahasa memiliki beberapa makna yaitu berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau
keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan
memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج)
yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya
menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat
keluarnya.
Mahmud
al-Thahhan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid menjelaskan
bahwa al-takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua
perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata al-takhrij sering
dimunculkan dalam berbagai pengertian, dan pengertian yang populer al-takhrij
adalah (1) al-istimbat artinya “mengeluarkan” (2) al-tadrib
artinya “melatih atau pembiasaan” (3) al-tawjih artinya “mengarahkan
atau menjelaskan arah”.
Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti :
عَزْوُ
الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ
وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ
عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا
مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ
Mengembalikan (menelusuri kembali ke
asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai
sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan
pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif,
ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada
padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal
(sumbernya)nya.
Dari uraian
defenisi di atas, takhrij Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang
ada dalam sanad hadis itu.
b. Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para
gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut
seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak
Al-hakim.
c. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab
yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis
tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
d. Membahas hadist-hadist sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudnya).
2.
TAKHRIJ
HADITS DAN URGENSINYA
Takhrij
Al-Hadits sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai
banyak sekali manfaat. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi
dalam kitabnya Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW,menjelaskan beberapa
manfaat takhrij hadits diantaranya :
a. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu
hadits berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.
b. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui
kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat
suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
c. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan
riwayat-riwayat hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu
munqathi’, mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah
status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
d. Takhrij dapat memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya.
Terkadang kita dapatkan hadits yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan
takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang
shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadits yang dha’if tersebut ke derajat
yang lebih tinggi.
e. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar
hukum hadits.
f. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Karena terkadang kita
dapati perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan
lain-lain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama
perawi yang sebenarnya secara lengkap.
g. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya
melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
h. Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadits oleh
seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata
yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi
akan tampak pula ketersambungan sanadnya.
i.
Takhrij
dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat
j.
Takhrij
dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena kemungkinan saja
ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain
maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
k. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu
sanad.
l.
Takhrij
dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
m. Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang
menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadits melalui perbandingan
suatu riwayat.
n. Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang
menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadits melalui perbandingan
suatu riwayat.
o. Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan
sesuatu) dari yang lainnya.
p. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh
seorang perawi
q. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh
seorang perawi.
r.
Takhrij
dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang
dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
s. Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadits.
t.
Takhrij
dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits. Diantara hadits –hadits ada
yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan
sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadits tersebut akan dapat
diketahui dengan jelas.
u. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan
melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada.
3.
SEJARAH
TAKHRIJ PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM TAKHRIJ
Para ahli dan peneliti keislaman
generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak berpikir perlu membuat
prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij al-hadits (transfering
and transforming of hadith). Argumentasi yang mengalasi pendapat demikian,
sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan, adalah faktor pengetahuan yang
ekstensif dan intensif (ithila` wasi`) yang dimiliki oleh para ahli
tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah. Kemampuan dan pengetahuan
yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam merujukkan setiap pendapat atau
sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan alasan syar`i kepada
kitab-kitab hadis yang ada ketika itu, bahkan sampai pada tingkat yang paling
partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas
berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi seiring perluasan wilayah
teritorial umat Islam dengan segala asesoris persoalan yang mengihiasinya, para
ahli dan peneliti keislaman pada masa berikutnya merasakan bahwa tingkat
pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah demikan tertelikung
oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah komunike profetik yang berasal atau
diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya – merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, bahkan melelahkan. Sementara itu, kebutuhan terhadap keputusan syariah
mengenai suatu persoalan begitu sangat mendesak, di samping terdapat banyak
sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis sebagai asas argumentasinya –
seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan fikih – tidak menjelaskan aspek
otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis yang dimaksud. Keadaan inilah yang
akhirnya mendorong sebagian ulama hadis mulai memikirkan sekaligus melakukan
aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu agar dapat segera lepas dari jerat
situasi tersebut.
Usaha para ulama hadis pada akhirnya
menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij,
yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis yang kelak dinamai “Kutub
al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan matan
pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas
redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas
transmisinya.
Secara kronologinya proses takhrijul
Hadis dalam perkembangannya melalui fase-fase berikut:
a.
penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya
masing-masing. Terkadang pengarang menitik beratkan pada masalah sanad atau
terkadang pada masalah matan
b.
Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri
yang berbeda dengan suatu kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini
menambah kekuatan hukum tentang sanad kitab pertama dan dapat menambah redaksi
matan.
c.
Setelah sunnah-sunnah nabi terkempul dalam kitab-kitab
besar, pengertian Takhrijul berarti penisbatan riwayat Hadits kepada
kitab-kitab yang ada beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadits-hadits
tersebut. Oleh karena itu pada masa kini dapat kita temui kitab-kitab takhrijul
hadits tentang fiqih, tafsir, bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya[1][3].
Kerja takhrij yang dilakukan
oleh generasi pertama ahli hadis hingga akhir abad ketiga bukanlah pekerjaan
yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka lebih banyak dilakukan dengan
melakukan perjalanan sangat jauh ke wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat
tutorial hadis, sekedar untuk mengkonfirmasi atau melakukan klarifikasi atas
suatu riwayat yang diterimanya. Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan
panduan takhrij belum banyak ditulis. Generasi sekarang
sesungguhnya dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan
juga penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta
buku-buku hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat
melalui proses yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan
teknologi lebih memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan
hanya menggunakan keping CD atau membuka informasi di situs internet.
Hanya saja secara konvesional para
pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya
dapat menggunakan beberapa pendekatan manual di bawah ini:
a.
Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad
(sahabat Nabi saw);
b.
Pendekatan redaksional, dengan melakukan pencermatan
terhadap awal matan atau lafal kalimat tertentu yang tidak populer di
lingkungan masyarakat;
c.
Pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara
mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
d.
Pendekatan deskripsional, adalah dengan melihat
tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik pada sanad maupun matan
suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan di atas, pada
tataran aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi dan
menyempurnakan. Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan pada
penyebutan nama sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis tidak
disebutkan nama sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan
keluar yang dapat dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah
dengan beralih pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya.
Demikian seterusnya.
Selanjutnya setiap pendekatan tersebut
menuntut penggunaan metode tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Berikut
ini adalah rinciannya:
a. Takhrij dengan
menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady, mu`jamy
(syakhshiy) dan athrafy.
b. Takhrij yang
memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy,
mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy
mawdhu`iy.
c. Takhrij dengan
pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode istiqra’iy isnadiy
wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan).
4.
METODE- METODE
DALAM TAKHRIJ HADITS
Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa
setidaknya ada lima metode yang
dipergunakan dalam melakukan takhrij hadits, diantaranya adalah :
1)
Al-Takhrij
‘an thariiqi ma’rifati raawi al-hadits min al-sahaabati
التخريج عن
معرفة راو الحديث من الصحابة
Dalam
menggunakan metode ini seseorang yang akan mentakhrij haruslah mengetahui sanad
hadits tersebut. Dalam hal ini yang menjadi pijakannya adalah perawi yang
paling tinggi yaitu sahabat-sahabat Rasulullah SAW, atau bisa juga para tabi’in
(jika hadits tersebut merupakan hadits mursal). Untuk mempergunakan metode
takhrij ini ada banyak kitab yang membantu pelacakan hadits, kitab-kitab
tersebut terbagi menjadi tiga jenis yaitu :
a.
Jenis kitab
al-masanid.
Yang dimaksud dengan kitab al-musnad
adalah kitab yang disusun berdasarkan perawi teratas dan menentukan
hadits-hadits setiap sahabat sendiri-sendiri. berdasarkan urutan huruf-huruf
hijaiyah, berdarkan lebih dahulu masuk islam, berdasarkan kehormatan keturunan.
Dalam kitab-kitab musnad ini, jenis shahih,
hasan dan dha’if terkumpul jadi satu. Diantara kitab-kitab tersebut adalah: Musnad Abu Hanifah, Musnad
Al-Syafi’i, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abu
Ya’la al-Maushili, Musnad
al-Humaidi, dan lain-lain
b. Jenis kitab
al-Ma’ajim
Ialah metode takhrij hadis yang mengandalkan buku-buku
mu`jam (buku hadis yang secara sistematis ditulis berdasarkan urut-urutan huruf
alfabet, bentuk jamaknya: ma`ajim) dalam melakukan kerja takhrij-nya.
Beberapa contoh kitab yang berjenis ini adalah: Mu’jam al-Kabir
karya Abu al-Qasim al-Thabarani (360 H), Mu’jam al-Shaghir karya Abu al-Qasim
al-Thabarani, Mu’jam al-Shahaabah karya Ahmad bin Ali al-Hamdani (398 H), Mu’jam
al-Ausath karya Abu al-Qasim al-Thabarani, Mu’jam al-Shahaabah karya Abi Yu’la
Ahmad bin Ali al-Maushili (308 H)
c. Jenis kitab al-athrafat,
Yang dimaksud
dengan kitab al-athraaf adalah salah satu jenis kitab-kitab yang disusun sebagai kumpulan hadits-hadits nabi. Yang dimaksud dengan jenis al-athraaf ini
ialah kumpulan hadits-hadits dari beberapa kitab induknya dengan cara
mencantumkan bagian atau potongan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap
sahabat. Beberapa contoh kitab yang berjenis al-athraaf adalah: Athraaf al-hahihain karya Imam Khalaf bin Hamadun al-Washithy (401 H), Athraaf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhly Muhammad bin
Thahir bin Ahmad al-Maqdisi (507 H), .Al-Isyraf ‘Alaa Ma’rifati al-Athraaf, karya Abu al-Qasim Ali bin Abi
Muhammad al-Hasan al-Dimasyqi (571 H), Tuhfatu al-Asyraf bi Ma’rifati al-Athraaf karya Jamal al-Din Abu al-Hajjaj, Yusuf bin Abdi al-Rahman al-Mizzi (742 H)[[2][4]]. Athraaf
al-shahihin karya imam abu mas'ud Ibrahim bin muhamad bin ubaid al-dimasyqi
(400 H)
Kelebihan metode ini:
Dengan
menggunakan metode ini akan lebih mudah dan cepat dalam melakukan proses
penelusuran atau mentakhrij hadis yang diinginkan.
Kelemahan metode ini:
Jika terdapat persamaan makna pada
awal matan hadits dan awal kata hadits yang ingin ditakhrij berbeda maka akan
mengalami kesulitan, misalnya matan hadits yang diawali dengan kata “idza
ataakum” yang akan ditakhrij, kemudian kita lupa dan hanya mengingat
kata-kata “lau ja’akum”, maka hal ini akan menyulitkan dalam melakukan
proses takhrij hadits, jadi harus sesuai dengan lafal yang akan ditakhrij [[3][5]].
Contoh
metode takhrij dengan kitab Tuhfatul Al-Asyraf bi ma`rifati Al-Athraf
hadits Jabir bin Abdullah yang berbunyi:
أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال:
إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلي ما يدعوه إلي نكا حها فليفعل
Kita mencari
hadits-hadits jabir. Kita dapati jilid kedua tertulis جودان- أهبان
, artinya jilid kedua ini
mencakup hadits-hadits sahabat yang nama-nama mereka diantara أهبان dan جودان. Sementara nama jabir terletak disekitar
pengelompokan ini, tentunya nama jabir kita cari pada jilid jilid ini. Lalu
kita telusuri seluruh hadits-haditsnya hingga sampai pada hadits yang kita
maksud. Kita ketahui bahwa jabir adalah termasuk yang banyak meriwayatkanya,
penyusun kitab mengurutkan nama-nama murid-muridnya berdasarkan huruf mu`jam
karena penulis sendiri telah mengetahui bahwa tabi`in yang meriwayatkanya dari
jabir adalah waqid-al-anshari, maka penulis mencari nama waqid, haditsnya
berbunyi
واقد بن عبد الرحمن بن سعد معاذ
الأنصارى لأوسى المدني عن جابر 3124 حديث, إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أنينظر
إلي مايدعوه إلى نكاحها فليفعل, د في
النكاح (19) عن مسدد, عن عبد الواحد بن زياد, عن محمد بن إسحاق, عن داود
Maksudnya
adalah bahwa hadits ini diriwayatkan oleh abu daud dalam kitab al-nikah bab
ke-19 dengan jalannya sanad seperti ini. Langkah selanjutnya adalah mencari
hadist ini dalam sunan abu daud pada kitab al-nikah bab ke-19. Kemudian kita
jelaskan bahwa abu daud mengeluarkannya pada kitab al-nikah di babfi-al-rajuli
yandhuru illa al-mar`ati wa huwa yuridhu tazawwajahajuz 6 halaman 96. Lalu
kita katakana bahwa al-mizzy menyebutkannya dalam al-tuhfah juz 2
halaman 385. Abu daud berkata; yang dikenal adalah waqid bin amr bin saad bin
muadz
Dengan
melakukan cara diatas berarti kita telah melakukan takhrij dengan sempurna
dari kitab al-tuhfah. Untuk lebuh sempurna lagi kita mentakhrijnya kembali dari
kitab-kitab lainya[4][6].
2)
Al-Takhrij
‘an thariiqi ma’rifati awwalulhafzhi min matn al-hadits
التخريج عن
طريق معرفة أول الحفظ من متن الحديث
Adalah metode takhrij dengan jalan mengetahui lafaz awal suatu matan hadits. Dalam
menggunakan metode ini adalah keharusan untuk mengetahui dengan pasti
lafal-lafal pertama dari matan suatu hadits. Setelah itu kemudian melihat huruf
pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, banyak
sekali kitab-kitab takhrij yang dipakai dalam menggunakan metode ini. jenis
kitab yang menggunakan metode ini dibagi dalam tiga jenis:
a.
Al-masyhurat ‘ala alsinat al-nas, seperti :
Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayanin Katsiirin al-Hadits al-Mashurah ‘ala Alsinah
al-Nas karya Muhammad bin Abdurrahman al-Skhawi (902 H), Kasyf al-Khafa wa
Muzii al-Ilbas ‘amma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah al-Nas karya Isma’il
bin Muhammad al-Ajluuni (1162 H), Tamyiz al-Thayyib al-Khabits fima Yaduuru
‘ala Alsinah al-Nas karya Abdurrahman bin Ali bin al-Diba’ al-Syabani (944 H),
Al-Badru al-Munir fi Gharibi al-Ahaadits al-Basyir al-Nazir, karya Abdul wahhab
bin Ahmad al-Sya’rani (973 H) dan lain sebagainya
b.
Al-Kitab allati ruttibat al-hadits fiiha ‘ala tartiib
huruuf al-mu’jam adalah kitab yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah,
jenis kitab ini seperti : Al-Jami’ al-Shagir min Hadits al-Basyir al-Nazir,
karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. (911 H).
c.
Al-Mafaatih atau al-Fahrasat, seperti:
Miftah al-Shahihiin karya al-Taukidi, Miftah al-Tartib li Ahadits Tarikh
al-Khatib, karya Sayyid Ahmad al-Ghumari[[5][7]].
Kelebihan metode ini:
a.
Metode ini
memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadits yang
meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya.
b.
Metode ini
memberikan manfaat yang tidak sedikit, diantaranya memberikan kesempatan
melakukan persanad. Dan juga faedah-faedah lainnya yang disebutkan oleh para
penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini.
Kelemahanmetode ini:
1)
Metode ini
tidak dapat dipergunakan dengan baik tanpa mengetahui terlebih dahulu perawi
pertama hadits yang dimaksud.
2)
Terdapat
kesulitan-kesulitan mencari hadits diantara yang tertera dibawah setiap perawi
pertamanya. Hal ini karena penyusunan hadits-haditsnya diantaranya didasarkan
perawi-perawinya yang dapat menyulitkan maksud tujuan[[6][8]].
Contohnya
dengan kitab al-jami` al-kabir
hadits yang dicari berbunyi
نفقة الرجل
على أهله صدقة
Dengan memahami pengertiannya, kita
berkesimpulan bahwa hadits diatas termasuk kategori hadits-hadits perkataan dan
tentunyya disusun menurut urutan huruf hijaiyah, kita buka bab huruf nun (ن), kemudian
kita cari huruf nun (ن), lalu huruf faa`(ف) serta qaaf(ق). Hadits ini kita temukan pada jilid
pertama. Halaman 857. Dalam halaman itu tertulis
نفقة الرجل
على أهله صدقة, حم ت عن أبي مسعود البدري, طب عن عبد الله بن أبي أوفي, والخرائط
فى مكا رم الأخلاق عن ابن مغفل
Cara
membacanya adalah hadits ini dikeluarkan oleh imam ahmad bin hambal dan imam
turmidzi dari abu mas`ud al-badry, imam Tabrany dalam al-kabir dari abdillah
bin abi aufa, dan al-kharaithy dalam makarim al-akhlaq dari ibnu mughaffal.
Begitulah yang tercantum dalam al-jami` kabir, jilid pertam, halaman 857[7][9]
3) Al-Takhrij ‘an thariiqi ma’rifati kalimatin yaqillu dauranuha ‘ala
al-alsinati min aiyu juz’in min matni al-hadits
التخريج طريق
معرفة كلمة يقل دورانها علي ألسنة من أي جزء من متن الحديث
Adalah metode takhrij yang didasarkan pada lafal-lafal tertentu dalam matan
hadits, terutama lafal-lafal yang gharib atau lafal-lafal yang asing untuk
mempercepat proses takhrij. Salah satu kitab yang paling terkenal untuk
membantu dalam proses takhrij dengan menggunakan metode ini adalah kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi karya A. J. Wensinck seorang
guru besar bahasa arab dari Universitas Leiden Belanda (w. 1939 M). kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi ini merujuk pada Sembilan kitab
induk hadits yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Turmudzi, sunan
Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimy, Muwaththa’ Imam Malik
dan Musnad Imam Ahmad[[8][10]].
Kelebihanmetode ini:
a.
Metode ini mempercepat
pencarian hadits-hadits.
b.
Penyusun
kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadits-haditsnya dalam beberapa
kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
c.
Memungkinkan
pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Kelemahanmetode ini:
a.
Keharusan
mempunyai kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai.
Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata kuncinya kepada
kata dasarnya.
b.
Metode ini
tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui nama sahabat
yang menerima hadits Nabi SAW, mengharuskan kembali kepada kitab-kitab aslinya
setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
c.
Terkadang
suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya
harus menggunakan kata-kata yang lain[[9][11]].
CONTOH CARA DALAM MEN TAKHRIJ HADIST
لَا يُؤْمنُ أحَـدَكُمْ حَتَّى
أَكُوْنَ أَحَبَّ إلَيهِ مِنْ وَلـَدِه وَوَالـِدِه وَالنـَّاسِ أَجْمَعـِين
“tidak (sempurna) iman seseorang sehingga aku lebih ia cintai daripada anak, orang tua dan manusia seluruhnya”
“tidak (sempurna) iman seseorang sehingga aku lebih ia cintai daripada anak, orang tua dan manusia seluruhnya”
Pada akhir hadits tersebut
dicantumkan H.R Bukhori, yang kita tidak diketahui runtutan sanadnya, dan
begitupula apakah benar hadits tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukrori?,
tentu kita tidak mengetahuinya sebelum kita men-takhrij hadits tersebut.
Apabila setelah kita takhrij hadits tersebut terdapat dalam kitab Bukhori,
bahkan dalam kitab lainya, tentu kita akan yakin bahwa hadits tersebut
merupakan hadits shahih yang memiliki hujjah. Namun, selain kita mengetahui
hadits tersebut berada dalam kitab Bukhori dan lainya, tentu kita harus
meninjau ulang kembali runtutan sadannya dengan menggunakan salah satu metode
Takhrij Hadits, sehingga kita dapat mengetahui seberapa dhobit, tsiqoh, dan
‘adil para perawi (rijal hadits) tersebut.
Dalam hal
ini, penulia mengunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi untuk
mengetahui hadits tersebut berada dalam kitab apa saja. Metode yang penulis gunakan dalam mentakhrij hadits yaitu dengan metode takhrij melalui
penggalan kata-kata. Untuk mencari hadits tersebut penulis menggunakan kata“ولد”yang menjadi mashdar dari kata“ولد”.
Setalah dicari dalam kitab mu’jam tersebut, ditemukan
kata-kata di bawah ini.
خـ : ايمان ۸ , م: ايمان ۷۰, ن:ايمان۱۹, جه: مقدمة ۹, دى: رقاق۲۹
Maksud yang terdapat dalam mu’jam tersebut ialah, bahwa hadits itu bukan hanya terdapat pada kitab bukhori saja. Namun terdapat pada kitab lainya pula. Oleh karena itu kita terjemahkan maksudnya.
خـ : ايمان ۸ , م: ايمان ۷۰, ن:ايمان۱۹, جه: مقدمة ۹, دى: رقاق۲۹
Maksud yang terdapat dalam mu’jam tersebut ialah, bahwa hadits itu bukan hanya terdapat pada kitab bukhori saja. Namun terdapat pada kitab lainya pula. Oleh karena itu kita terjemahkan maksudnya.
۸خـ : ايمان = Maksudnya
adalah hadits tersebut berada pada kitab Shahih Bukhori bab Iman hadits ke
delapan.
مـ: ايمان ۷۰=
Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Shahih Muslim bab Iman
hadits ke tujuh puluh.
ن:ايمان ۱۹=
Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Sunan an-Nasai bab Iman
hadits ke Sembilan belas.
جـه: مقدمة ۹=
Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Ibnu Majjah dalam Muqoddimah
hadits ke sembilan.
دى: رقاق ۲۹=
Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab ad-Darimy Bab Raqoqi hadits
ke dua puluh sembilan.
Adapun hadits lengkap pada
masing-masing kitab adalah sebagai berikut:
1.
Dalam Kitab
Shahih Bukhori
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ
صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
2. Dalam Kitab Shahih Muslim
حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار،
قالا: حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة. قال: سمعت
قتادة يحدث عن أنس بن مالك؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يؤمن
أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين”
3. Dalam Kitab Sunan an-Nasai
أخبرنا حميد بن مسعدة قال: حدثنا بشر
يعني ابن المفضل قال: حدثنا شعبة عن قتادة أنه سمع أنسا يقول: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
4. Dalam Kitab Sunan Ibnu Majjah
حدثنا محمد بن بشار، ومحمد بن المثنى
قالا: حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا شعبة، قال: سمعت قتادة، عن أنس بن مالك قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: ((لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده
والناس أجمعين))).
5. Dalam Kitab Sunan ad-Darimi
أخبرنا يزيد بن هارون وهاشم بن القاسم
قالا : ثنا شعبة عن قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم
حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
4)
Al-Takhrij
‘an thariiqi ma’rifati maudhu’i al-hadits matnan wa sanadan
التخريج عن
طريق معرفة موضوع الحديث متنا و سندا
Adalah metode takhrij dengan cara mengetahui tema hadits. Menurut Mahmud Thahhan
metode ini digunakan untuk orang-orang yang mempunyai instink dalam
menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits. Adapun kitab yang dapat membantu
pelacakan hadits dengan metode ini dapat dibagi dalam tiga jenis :
a.
Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat,
al-majami’, al-zawa’id, miftah kunuz al-sunnah, (jenis
kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan), seperti : Al-Jami’ al-shahih
karya Bukhari, Al-Jami’ al-shahih karya Muslim, Al-jami’ Abdurrazaq, Al-jami’
al-Tsauri, Al-Mustakhraj ‘ala Shahihi al-Bukhari karya al-Ismai’li (371 H),
Al-Mustakhraj Shahihi al-Bukhari karya al-Ghatrifi (377 H), Al-Mustakhraj
Shahihi al-Bukhari karya al-Dzuhl (378 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim
karya Abu Uwanah al-Isfiraini (310 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim
karya Abu Hamid al-Harawi (355 H)
b.
Al-Sunan, al-Mushannafat, al-Muwaththa’at,
al-Mustakhrajat a’ala al-Sunnah Adalah jenis kitab yang membahas
sebagian besar masalah keagamaan seperti: Sunan Abu Dawud al-Sijistani (275 H),
Sunan al-Nasa’I (303 H), Sunan Ibn Majah (275 H), Sunan al-Syafi’I (204 H),
Sunan al-Baihaqi (458 H), Sunan al-Daruquthni (385 H), Sunan al-Darimy (255 H),
Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdullah bin Muhammad Abu Syaibah al-Kufi (235 H),
Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdul Razaq bin Hammami al-Shana’i (211 H)
c.
Al-Ajza’, al-Targhib wa al-Tarhib, al-Zuhd wa
al-Fadla’il wa al-Adab wa al-Akhlaq, al-Ahkam
AdalahKitab yang membahas
topik-topik tertentu dari masalah keagamaan kitab-kitab jenis ini diantaranya:
Juz’ ma rawahu Abu Hanifah ‘an al-Shahabah karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin
Abdul al-Shamad al-Thabari (178 H), Al-Targhib wa Tarhib karya Zakiy al-Din
Abdul Azim bin Abdul Qawi al-Munziri (656 H). Al-Targhib wa Tarhib karya Abu
Khafd Umar bin Ahmad al-Ma’ruf Ibnu Syaibah (385 H), Kitab Zuhd karya
Imam Ahmad Ibnu Hanbal (241 H), Kitab Zuhd karya Imam Abdullah bin al-Mubarak
(181 H), Kitab Zuhd wa al-Du’a karya Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Kufi (182
H)
Kelebihanmetode ini:
a. Metode dengan mengetahui tema hadits tidak membutuhkan
pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits, seperti keabsahan metode
pertamanya, sebagaimana metode-metode sebelumnya, pengetahuan bahasa arab
dengan perubahan-perubahan kata dan pengenalan perawi teratas sebagaimana
metode sebelumnya. Yang menjadi inti dari metode ini adalah diharuskan
kemampuan untuk menentukan tema dalam hadits yang akan ditakhrij.
b. Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada para peneliti hadits.
c. Metode ini juga memperkenalkan kepada para peneliti hadits yang dicarinya
dan hadits-hadits yang senada dengannya.
Kelemahanmetode ini :
a.
Terkadang
untuk menentukan tema hadits seringkali mengalami kesulitan oleh seorang
pentakhrij, akibatnya metode ini justru akan mempersulit proses takhrij.
b.
Seringkali
terjadi pemahaman antara para penyusun kitan dengan metode ini tidak sepham
dengan para pentakhrij yang menggunakan kitab-kitab takhrij dengan metode ini.
sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak
diduga oleh pentakhrij hadits. Misalnya, hadits yang semula oleh pentakhrij
disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata oleh penyusun kitab diletakkan
pada hadits tafsir.
Contoh takhrij dengan kitab nashbu al-raayah li takhriji ahaadits
al-hidayah
Kita akan mentakhrij hadits
yang berbunyi:
هو –أي
البحر- الطهور ماءه الحل ميتته
Hadits ini
kita cari dalam kitab thoharoh. Pada daftar indeks kitab thoharoh. Kita dapati
bab باب
الماء الذي يجوز به الطهارة . bab inilah yang terdekat terdapatnya hadits
diatas (juz 1 halaman 95 hadits ke 34). Disitu al-zaila`I menyebutkan para
sahabat yang meriwayatkanya, mereka berjumlah tujuh orang, kemudian pembicaraan
mengenai periwayatan setiap sahabat, ulama yang mengeluarkannya, kedudukan
nilai hadits (shohih dan lain-lain)[10][13].
5) Al-Takhrij
‘an thariiqi al-nazari fi haali al-hadits matnan wa sanadan
التخريج عن
طريق النظر في حال الحديث متنا و سندا
Adalah metode takhrij dengan cara
melihat sifat hadits baik matan maupun sanadnya menggunakan metode takhrij
hadits yang terakhir ini haruslah memusatkan perhatianpada sifat hadits yang terdapat pada matan dan sanadnya. Adapun kitab-kitab yang disusun untuk membantu penelusuran hadits dengan
menggunakan metode ini diantaranya :
a.
Jenis kitab
yang didasarkan pada matan atau kitab al-Maudhu’at seperti: Al-Maudhu’ah al-Shugra karya Syekh Ali al-Qari al-Harawi (1014 H), Tanzih al-Syari’ah ‘an al-Ahadits al-Syanii’ah al-Maudhu’ah karya Abu Hasan
Ali bin ‘Iraq al-Kinani (963 H).
b.
Jenis kitab
al-Qudshiyat, seperti: Misykat
al-Anwar fi ma ruwiya ‘an Subhanahu wa ta’ala min al-Akhbar karya Muhyiddin
Muhammad Ibnu Ali bin Arabi al-Hatimi al-Andalusi (638 H), Al-Ithaf al-Saniyyah bi al-Ahadits al-Qudsiyyah karya Seykh Abdurra’uf
al-Manawi (1031).
c.
Jenis kitab yang didasarkan pada sanad hadits,seperti:
Kitab Rawayah al-Abaa’ ‘an al-Anbiya’karya Abu Bakr Ahmad Bin Ali al-Khatib
al-Baghdadi (463 H), Kitab al-Manah al-Salsalah fi al-Ahadits al-Musalsalah
Karya Muhammad bin Abd al-Baqi al-Ayyubi (1364 H)
Contohnya :
Metode ini memperkenalkan suatu
upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadits dalam menyusun hadits-hadits
berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam dalam
proses pencarian hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits-hadits Qudsi .hadits
masyhur , hadits mursal, seorang peneliti hadits, dengan membuka
kitab-kitab seperti diatas, dia telah melakukan takhrijul hadits
Kelebihanmetode ini:
Dapat
mempermudah proses takhrij. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar
hadits-hadits yang dimuat dalam karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits
sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.
Kelemahanmetode ini:
Wilayah
cakupan metode ini sangat terbatas karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat
tersebut. Hal ini akan tampak lebih jelas ketika melihat kitab-kitab takhrij
dengan menggunakan metode ini .
Kesimpulan
Takhrij Hadits sebagai bagian dari
ilmu hadits merupakan produk ulama terdahulu adalah juga bagian dari khazanah
intelektual dan keilmuan yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Mereka (para ulama terdahulu) telah melakukan “ijtihad intelektual” dalam
tradisi ilmu hadits sehingga takhrij hadits sebagai bagian kecil dari ilmu
tersebut ada dihadapan kita. Karena dengan takhrij hadits telah banyak
memberikan manfaat dan faedah sebagaimana dijelaskan pada bagian awal makalah
ini, dengan metode takhrij, samudra hadits peninggalan Rasulullah
SAW. yang begitu luas dan banyak dapat ditelusuri, dilacak dan diteliti dengan
mudah oleh siapa saja yang ingin mendapat hikmah dari butiran-butiran mutiara
hadits. Metode-metode takhrij hadits dengan kekurangan dan kelebihannya pada
masing-masing metode telah saling melengkapi antara metode yang satu dengan
yang lainnya dalam proses pelacakan dan penelusuran hadits.
Demikianlah catatan kecil dari
penulis tentang “takhrij hadits, urgensi dan metodenya” yang banyak penulis kutip
dari ulama-ulama hadits dan para pemerhati hadits. wallahu a’lam bissawaab
0 comments:
Post a Comment